Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika dan Robusta)

Diposting pada 03-Nov-2022, 1 tahun yang lalu

Pertanian masih menjadi pekerjaan utama sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pedesaan dan wilayah pesisir. Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terus menurun seiring dengan perkembangan Industri. Pada tahun 2020, kontribusi PDB sektor pertanian mencapai 13,7%, terbesar kedua setelah sektor Industri. Pemerintah Indonesia telah dan sedang melakukan transformasi sektor pertanian untuk mendorong peningkatan produksi dengan sistem pertanian modern dan dukungan teknologi Internet of Thing (IOT). Namun demikian, meningkatnya kebutuhan pangan dan dampak perubahan iklim menjadi tantangan lain untuk tercapainya ketersediaan pangan bagi rakyat Indonesia.

Perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan di wilayah Indonesia. Dalam periode 1991-2010 peningkatan suhu udara di berbagai daerah berkisar antara 0,01-0,06oC dengan rata-rata 0,03oC per tahun, sehingga dalam tempo 30 tahun suhu di Indonesia meningkat sekitar 0,9oC.  Selama kurun waktu 1971-2010 telah terjadi pengurangan curah hujan yang cukup tinggi di Bengkulu bagian utara, Kalimantan Barat bagian tengah dan utara, Kalimantan Utara, wilayah perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, Maluku, dan sebagian besar Papua (BMKG, 2019). Perubahan pola curah hujan, panjang musim hujan, dan awal musim hujan berimplikasi serius terhadap produksi pertanian. Pola tanam saat ini telah berubah dari waktu lampau dan pola tanam saat ini tidak sesuai lagi digunakan pada masa yang akan datang.  Misalnya pola tanam pada lahan sawah di sentra produksi padi saat ini yang umum adalah padi-padi, dimana musim tanam kedua sangat tergantung pada ketersediaan air irigasi. Pada kondisi kekeringan karena El Niño, ketersediaan air irigasi menjadi sangat terbatas, dan berdampak terhadap kehilangan hasil tanaman padi (Surmaini et al., 2015).

Indikator perubahan iklim juga dapat dilihat dari Suhu Permukaan Laut (SPL) dalam jangka panjang. Sejak tahun 1954, SPL di Indonesia relatif lebih tinggi dari rata-rata global, berkisar antara 0,8-1,5oC per 100 tahun (Bappenas, 2019). Kenaikan muka air laut juga berdampak serius terhadap sektor pertanian. Kenaikan muka laut dan berkurangnya debit dari hulu selama musim kemarau akan mempercepat intrusi air salin. Pada periode 1992-2020 kenaikan muka air laut di Indonesia mencapai 3.9±0.4 mm/tahun (NOAA, 2020) yang menyebabkan lahan sawah di pesisir pantai sangat rentan terhadap genangan dan peningkatan salinitas. Permasalahan intrusi air laut dan peningkatan salinitas telah diamati terjadi di berapa lokasi lahan sawah di pesisir pantai utara Jawa (Marwanto et al., 2009; Karolinoerita dan Yusuf, 2020). Kopp et al. (2020) menyimpulkan bahwa apabila tidak dilakukan upaya mitigasi (skenario Representative Concentration Pathway (RCP) 8.5) maka pada tahun 2100 diproyeksikan tinggi kenaikan muka laut mencapai 93-243 mm, jika dilakukan upaya maksimal untuk menahan kenaikan suhu udara (RCP 2.6) maka kenaikan muka laut diproyeksi mencapai 26-98 cm. 

Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi yang budidayanya dilakukan secara intensif oleh petani, dengan produktivitas yang lebih tinggi dibanding daerah lainnya. Namun, Pulau Jawa dengan populasinya yang tinggi menghadapi berbagai faktor pembatas terkait kompetisi penggunaan sumberdaya antara sektor pertanian dan sektor lainnya terutama rumah tangga dan industri. Oleh karena itu, salah satu alternatif peningkatan produksi adalah pengembangan padi di lahan rawa. Pada kondisi El Niño, dimana sebagian daerah mengalami penurunan produksi karena kekeringan, namun lahan rawa lebak menjadi dapat ditanami karena penurunan muka airnya. Oleh karena itu lahan rawa ditargetkan sebagai salah satu alternatif penambahan luas areal tanam pada kondisi El Niño.  

Kejadian iklim ekstrim tidak hanya mempengaruhi tanaman semusim, tetapi juga tanaman tahunan, seperti kopi. Perkebunan kopi di Indonesia umumnya terletak pada lahan kering masam, tadah hujan, dan lahan berbukit (Hafif et al., 2013). Kopi yang dibudidaya di Indonesia adalah kopi Robusta dan kopi Arabika.  kopi Robusta ditanam di dataran rendah sedangkan kopi Arabika di budidayakan di dataran tinggi. Tanah masam merupakan lahan terdegradasi dengan kondisi bioklimatik yang rentan terhadap cekaman lingkungan akibat keragaman dan perubahan iklim. Sebagai komoditas tanaman tahunan yang sensitif, keragaman dan perubahan iklim merupakan isu penting dalam produksi kopi. Oleh sebab itu, analisis dan identifikasi indikator perubahan iklim pada tanaman kopi sangat penting untuk peningkatan produksi dan keberlanjutan produksi kopi di Indonesia.

 

login untuk Tulis Ulasan