Pasca pengesahan penganggaran berbasis kemakmuran (well-being budget), Selandia Baru kembali mengguncang dunia ketika menyepakati dokumen yang akan membawa percepatan pencapaian komitmen Perjanjian Paris (Paris Agreement) di tahun 2050. Dengan demikian, Selandia Baru akan tercatat diantara beberapa negara yang sudah mendeklarasikan secara nyata upaya mencapai pertumbuhan emisi nol persen (zero emission) sekaligus membatasi level pemanasan global di suhu 1,50 Celcius. Menariknya, kesepakatan tersebut dicapai secara aklamasi oleh seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah maupun seluruh perwakilan partai di dalam parlemen. Hal inilah sekiranya membuat iri banyak negara lain karena meyakinkan perlemen untuk ikut mendukung upaya mengatasi pemanasan global bukanlah hal yang mudah.
Cerita lainnya, di Indonesia sendiri meski masih terus berproses namun di tahun 2019 kemarin dengan dibantu oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), telah menerbitkan laporan tentang Tinjauan Kebijakan Pertumbuhan Hijau Indonesia. Di dalam pengantar laporan dijelaskan bahwa tinjauan dilakukan dengan mempertimbangkan status sebagai negara berpopulasi keempat terbesar di dunia sekaligus sebagai negara kepulauan terluas. Keberhasilan ekonomi yang dicapai dalam beberapa kurun waktu dikhawatirkan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang masif. Beberapa indikator menunjukkan gejala ini diantaranya: laju perubahan tata guna lahan yang masih besar, salah satu negara terbesar penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus bergantung kepada penggunaan fossil fuel.
Secara umum, OECD memberikan rekomendasi beberapa peluang dan hambatan bagi pengembangan isu pertumbuhan hijau di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi peluang diantaranya: tingginya keanekaragaman hayati, modernisasi tata kelola guna lahan, potensi energi terbarukan yang besar dan masih belum tergarap dengan baik, integrasi target lingkungan rendah karbon dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional serta kemajuan penerapan kebijakan fiskal hijau melalui pengurangan subsidi fossil fuel serta mekanisme penandaan anggaran.
Untuk tantangan, beberapa yang dicoba disampaikan dalam tinjauan diantaranya: meningkatnya emisi GRK dan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, hutan dan lahan gambut yang kaya karbon secara perlahan mulai hilang, infrastruktur dan sumber daya pengelolaan limbah dan air tidak memadai, kapasitas kelembagaan dan koordinasi di level pemerintah masih lemah serta penerapan pajak lingkungan dan instrumen ekonomi lainnya belum maksimal.
Strategi pembangunan rendah karbon di RPJMD
Momen peluncuran laporan OECD ini sekiranya menjadi menarik jika dikaitkan dengan peluncuran dokumen Strategi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) oleh Bappenas beberapa periode sebelumnya. Kerangka strategi tersebut dibingkai dalam laporan “Low Carbon Development – A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia”. Secara umum laporan tersebut berupaya untuk menerjemahkan paradigma baru dalam menjalankan pembangunan ekonomi jangka panjang di Indonesia yang berlandaskan berbagai aktivitas rendah emisi dan ramah lingkungan. Output dari strategi tersebut adalah dihasilkannya peta jalan yang pasti menuju ekonomi hijau lintas generasi. Di dalam laporan juga disebutkan bahwa eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang masih berlangsung hingga saat ini, berbagai investasi beremisi tinggi sekaligus penggunaan energi dan sistem transportasi yang tidak efisien telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang relatif masif di Indonesia.
Bukti-bukti banyaknya kerusakan lingkungan yang belum tertangani, dapat dijumpai secara mudah. Investigasi bbc.com misalnya, mengingatkan betapa cepatnya laju penurunan permukaan tanah di Jakarta ataupun laporan beberapa lembaga internasional terkait kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia. Keseluruhan hal ini cukup menjadi fakta perlunya isu degradasi lingkungan ini mendapat perhatian yang lebih memadai. Terlebih ketika dikaitkan dengan besaran biaya yang harus dikeluarkan dalam mengembalikan fungsi lingkungan. Biaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan saja, dalam hitungan Bank Dunia nilainya setara dengan 1,9% PDB nasional.
Dokumen laporan tersebut memberikan deskripsi yang jelas ketika pola pembangunan konvensional terus saja dilakukan, maka laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih cepat berada di titik batas daya dukung dan daya tampung (carrying capacity). Sementara laju pertumbuhan penduduk justru terus bertambah bagai deret ukur dan deret hitung. Pembangunan konvensional juga memberi membatasi potensi pertumbuhan ekonominya sendiri karena penggunaan sumber daya dan fungsi produksi dipercepat di periode saat ini. Ingat bahwa teori ekonomi klasik memberikan pelajaran di periode jangka panjang (long run period) perekonomian akan berada pada kondisi full employment dan full capacity.
Ketika ekonomi sudah mencapai titik daya dukung dan daya tampung, satu-satunya cara untuk terus melanjutkan pertumbuhan melalui penciptaan kreasi dan inovasi teknologi. Daya dorong kreasi dan inovasi teknologi pun akan makin optimal ketika pola pembangunan sudah mengarah kepada penggunaan teknologi ramah lingkungan. Pada tahapan inilah manfaat penurunan laju destruksi SDA saat ini akan terasa seiring dengan semakin mahalnya harga input di periode mendatang.
Karenanya pemerintah memang sudah selayaknya melakukan transformasi pola pembangunan ekonomi sedari dini, sekaligus memikirkan bagaimana bentuk ukuran keberhasilan pertumbuhan ekonomi yang kekinian. Hingga saat in, ukuran keberhasilan pertumbuhan ekonomi masih didasarkan kepada hitungan Produk Domestik Bruto (PDB) semata, tanpa mempertimbangkan aspek kualitas hidup, kesejahteraan dan keberlanjutan lingkungan. Praktek penggunaan Indeks Kebahagiaan Nasional di Bhutan atau dimulainya Well-Being Budget oleh Pemerintah New Zealand, harusnya menjadi pengingat bahwa angin perubahan sudah mulai nyata.
Sebagai bagian dari komunitas global, sejak 2009 pemerintah sebetulnya sudah menyatakan komitmen atas penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional sebesar 26% dengan pendanaan sendiri (APBN/APBD) dan 41% jika dibantu pendanaan internasional hingga tahun 2020. Komitmen tersebut kemudian diregulasikan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK Nasional (RAN-GRK). Pasca ratifikasi Kesepakatan Paris tahun 2015, target direvisi menjadi 29% dan 41% di tahun 2030 dalam kerangka Nationally Determined Contribution (NDC).
Dari keseluruhan strategi dan kebijakan tersebut, yang terpenting adalah ketika pemerintah berhasil memasukkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagai piranti dalam menjalankan politik anggaran. Dengan demikian, aksi penurunan emisi menjadi bagian yang terintegrasi dengan pembangunan ekonomi dan sosial, bukan lagi sebuah kebijakan yang terpisahkan. Kebijakan penurunan laju deforestasi, pemanfaatan energi terbarukan, efisiensi energi, peningkatan produktivitas pertanian serta efisiensi pemanfaatan Sumber daya Alam (SDA) dan lingkungan pun akan semakin diintensifkan.
Pasca bergulir secara nasional, PRK juga wajib diterjemahkan ke dalam proses perencanaan penganggaran di RPJMD masing-masing daerah. Mempertimbangkan penjelasan tersebut, PRK sekiranya menjadi kebutuhan perencanaan pembangunan yang sangat urgent jika dikaitkan dengan kondisi daerah yang banyak menghadapi persoalan lingkungan khususnya di era otonomi daerah. Masih ditemukannya fenomena kutukan SDA di beberapa daerah, mengindikasikan adanya kebutuhan tersebut. Dengan mendasarkan kepada PRK maka daerah menjadi lebih mudah dalam menyusun sektor prioritas baru menuju visi pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan dan inklusi.
Masalahnya adalah masih dijumpainya beberapa persoalan klasik dalam sistem pembangunan pemerintah. Masalah yang pertama adalah sering kali proses perencanaan tidak terkoneksi baik dengan rejim penganggaran. Sering dijumpai banyak hal yang direncanakan justru tidak terimplementasi karena tidak ada anggaranya atau justru sebaliknya tidak muncul di dokumen perencanaan namun tiba-tiba sudah ada alokasi anggarannya. Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren menjadi tantangan berikutnya. Bagaimana Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai pemangku kepentingan sektoral wajib mendistribusikan kewenangan seluruhnya kepada daerah baik provinsi, kabupaten dan kota, kecuali lima hal yang masih ada di kewenangan pemerintah pusat.
Penetapan proses penganggaran berbasis kinerja yang mencerminkan kesinambungan input-kegiatan/program-output dan outcome juga sering terkendala pencatuman satuan ukuran yang mengada-ada. Akibatnya pengukuran kinerja menjadi terhambat dan tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah pusat sedang mencoba mengembangkan pendekatan penandaan anggaran (budget tagging) di daerah. Harapannya, dengan metode tagging tersebut secara perlahan beberapa permasalahan mendasar dapat diatasi dan daerah betul-betul mampu melakukan pengarusutamaan PRK ke dalam RPJMD secara tepat dan lugas. Semoga !!!!
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja