Menarik mencermati pernyataan para pejabat publik khususnya kepala daerah yang terkait langsung dengan permasalahan banjir bandang Jabodetabek di awal tahun 2020 ini. Koordinasi sekali lagi memang masih menjadi kata kunci yang mudah disampaikan namun sangat sulit untuk diimplementasikan, apalagi ketika kalkulasi politik praktis masih menjadi barometer utama. Tak salah jika publik kemudian mencoba mencari solusi masing-masing seraya berharap adanya perubahan kebijakan ke depannya. Berulang kali masyarakat merasa bahwa kebijakan yang dihasilkan justru tidak menyentuh akar permasalahan yang paling utama. Manis janji hanya sekedar dimulut saja tanpa pernah terealisasikan secara nyata.
Kembali ke masalah sengkarut banjir Jabodetabek, dengan melepaskan masalah politik yang menyertainya, secara umum dapat dipetakan menjadi tiga wilayah yang terkoneksi jika menggunakan pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS). Perlu dipahami juga dari sisi sejarah, DKI Jakarta awalnya merupakan kota pelabuhan yang dilewati 13 sungai besar dan seluruhnya bermuara ke Teluk Jakarta. Kontur tanahnya pun berawa-rawa, dibuktikan dengan banyaknya wilayah yang melekatkan kata rawa seperti: Rawabuaya, Rawasari, Rawamangun, Rawabebek dan lainnya. Banyaknya area rawa ini awalnya memang difungsikan sebagai wilayah tangkapan air demi melindungi Jakarta dari bencana banjir. Ketiga belas sungai besar yang melewati Jakarta diantaranya Kali Angke, Pesanggrahan, Krukut, Grogol, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Cakung, Jati Kramat dan Buaran.
Selain tetap menjaga wilayah tangkapan air, Belanda dahulu kala juga membangun banyak kanal besar untuk melindungi Jakarta dari bencana banjir. Jejak peninggalan kanal besar ini dapat dengan mudah dijumpai hingga kini meski kondisinya sudah tidak utuh dan tidak lagi berfungsi secara sempurna buah ketidakperdulian masyarakat dan pemerintah. Terlebih di tengah masifnya pembangunan ibu kota yang memaksa derasnya perubahan tata guna lahan yang serampangan. Tak heran jika bencana khususnya bencana pembangunan silih berganti datang baik kemacetan, kriminalitas dan banjir. Karenanya dibutuhkan sebuah solusi yang revolusioner (out of the box) keluar dari pakem yang biasa saja (bussiness as usual (BAU)).
Kompensasi jasa lingkungan antar daerah
Normalisasi, naturalisasi, pompa air maupun peningkatan area tangkapan air boleh dikata merupakan bentuk-bentuk solusi praktis yang bersifat jangka pendek. Meski penting, dibutuhkan juga bentuk kombinasi pendekatan jangka panjang yang permanen. Salah satu solusi inovatif yang direkomendasikan saat ini adalah mekanisme kompensasi jasa lingkungan (jasling) yang dijalankan antar pemerintah daerah (pemda). Antar daerah dituntut untuk bekerjasama dalam kerangka pengelolaan wilayah DAS yang terbagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hilir sebagai pihak yang terdampak tentu membutuhkan peran signifikan dari hulu dan tengah dalam upaya menciptakan perubahan yang diharapkan. Perbaikan hulu dan tengah selain menguntungkan pihak hilir juga memberikan manfaat berupa tambahan kompensasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Potensi tambahan PAD bersama merupakan financial benefit yang sangat mengguntungkan. Selain itu juga mereduksi potensi konflik antar daerah sehingga pendekatan ini bersifat double benefit baik aspek financial dan konservasi secara bersamaan. Sifat double benefit ini sekiranya mampu menjawab permasalahan trade off yang seringkali muncul dan membelenggu pemerintah antara upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah atau mengedepankan aspek konservasi lingkungan. Pilihan mengutamakan pertumbuhan ekonomi daerah biasanya akan meniadakan pertimbangan konservasi lingkungan dan sebaliknya.
Penulis sendiri merasa bahwa keutamaan kompensasi jasling inilah yang perlu di dorong bersama-sama seluruh pihak, supaya kedepannya dapat menjadi salah satu isu yang menarik dalam berbagai kampanye politik kepala daerah selain tawaran pendidikan gratis, kesehatan gratis atau janji politik konvensional lainnya. Dari sisi regulasi, pemerintah sudah memiliki kelengkapan yang memadai terkait skema tersebut. Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sudah mengamanatkan perlunya kompensasi jasling antar daerah. Beleid teknisnya juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) pasal 4 ayat c. Disebutkan bahwa kompensasi jasling menjadi bagian dari IELH via indikator perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Indikator lainnya yang dimungkinkan adalah pendanaan lingkungan hidup serta mekanisme insentif dan dis-insentif.
Merujuk kepada regulasi tersebut, IELH sendiri didefinisikan sebagai seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sementara kompensasi jasling antar daerah adalah pengalihan sejumlah uang dan/atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang antara pemanfaat jasling dengan penyedia jasling melalui perjanjian terikat berbasis kinerja. Dengan demikian kata kunci yang utama adalah adanya pemberi dan pemanfaat jasa lingkungan. Udara yang bersih, ekosistem yang terjaga dan lingkungan yang sehat merupakan contoh termudah manfaat jasa lingkungan ini.
Di level implementasi, beberapa praktek umum kompensasi jasling sudah dijalankan di banyak daerah. Aturan yang melingkupinya pun sudah bersifat regional melalui Peraturan daerah (Perda). Pembayaran kompensasi yang ditransfer oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan terkait upaya konservasi mata air misalnya, hanya menjadi salah satu contoh sukses pengelolaan yang wajib direplikasi di daerah lainnya. Pengelolaan DAS Cidanau di Provinsi Banten, DAS Rejoso di Provinsi Jawa Timur dan praktek kompensasi jasling Kota Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi praktek sejenis lainnya yang sangat mungkin dimodifikasi dalam pencegahan banjir Jabodetabek. Bagaimana caranya ?
Pertama dengan melakukan pemetaan seluruh daerah yang terkait. Dengan pemetaan tersebut, DKI Jakarta jelas menjadi daerah hilir yang wajib memberikan kompensasi kepada wilayah lainnya yang berada di hulu dan tengah. Kompensasi diberikan sebagai insentif atas kinerja konservasi yang dilakukan di daerah hulu dan tengah. Kinerja konservasi daerah hulu dan tengah inilah yang nantinya diharapkan mampu mengubah perilaku sebagai input utama perubahan kebijakan di masa depan. Ingat bahwa wajah DKI Jakarta adalah wajah ibu kota negara, wajah kita semua. Jangan korbankan ibu kota demi kepentingan politik semata !!!!
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja