Setiap tahunnya tanggal 21 Februari selalu diperingati sebagai Hari Perduli Sampah Nasional. Khusus di tahun 2019 ini, pemerintah re-launching Gerakan Indonesia Bersih (GIB) sebagai bagian dari konstruksi besar Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang disahkan pemerintah via Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 tahun 2016. Selain GIB, Inpres tersebut juga mengamanatkan perlunya Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Mandiri, Gerakan Indonesia Tertib dan Gerakan Indonesia Bersatu. Tujuan pengesahan Inpres ini adalah memperbaiki dan membangun karakter bangsa dengan mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja dan gotong royong dalam membentuk budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Merujuk kepada kondisi saat ini, eksistensi GIB ini menjadi sangat valid khususnya dikaitkan dengan status darurat sampah nasional. Munculnya masalah sampah nasional ini tak lepas dari banyaknya jumlah timbulan sampah yang tak tertangani secara memadai. Akibatnya sampah tersebar tanpa melihat batas yuridiksi dan administrasi. Di daratan maupun lautan semuanya habis diterjang sampah. Menjadi makin kompleks ketika salah satu sumber sampah terbesar berasal dari kontribusi produk plastik. Berdasarkan data yang dihimpun, Indonesia masuk kategori produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia. Fakta matinya Paus jenis sperma yang terdampar di Kabupaten Wakatobi dengan menelan sampah plastik di perutnya, hanya menegaskan ulang bahwa kondisi ini tidak dapat ditolerir lagi. Bagaimana seekor Paus dapat menelan sampah plastik hingga 6 kg, dengan ragam 3,2 kg tali rafia, 115 buah gelas, kantong dan karung plastik serta botol minuman, tentu sulit dicerna akal sehat.
Ketika akhirnya muncul gerakan masif diet sampah khususnya kantong plastik oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah segera menindaklanjuti supaya virus positif yang sudah mulai tumbuh akan terus berkembang lebih cepat. Lebih melegakan, ketika semesta mendukung harapan tersebut. Kita lihat bersama banyak kepala daerah kemudian berlomba-lomba menciptakan inovasi pengelolaan sampah di daerah masing-masing. Yang fenomenal tentu Kota Surabaya lewat konsep Suroboyo Bus dimana masyarakat dapat memanfaatkan jasa layanan dengan menukar sampah plastik sebagai pembayaran tiket.
Jauh hari sebelumnya, Pemerintah Kota Banjarmasin secara de jure mengeluarkan kebijakan Peraturan Walikota (Perwali) Banjarmasin Nomor 18 Tahun 2016 yang melarang penggunaan kantong plastik di retail dan toko modern, disusul kemudian oleh Peraturan Walikota (Perwali) Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Tak ketinggalan wisata di Pulau Bali khususnya Kota Denpasar juga merespon inisiatif yang sama demi menjaga keberlanjutan daya dukung dan daya tampung industri pariwisata. Teman yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Walikota Jakarta Utara juga berujar adanya larangan menggunakan botol plastik sekali minum yang ditegaskan via Instruksi Walikota Jakarta Utara.
Dukungan Pemerintah
Dalam koridor GIB, pemerintah menyatakan secara tegas komitmennya dengan merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Kebijakan ini sekaligus melengkapi beberapa ketentuan teknis yang sudah ada terlebih dahulu. Sebelumnya pemerintah sudah menerbitkan Perpres Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jastranas). Ada juga Perpres Nomor Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Kelengkapan-kelengkapan regulasi tersebut menjadi bukti nyata keseriusan pemerintah mengatasi permasalahan sampah nasional sekaligus adanya perubahan paradigma cara pandang masyarakat dan pemerintah terhadap sampah menuju paradigma circular economy dari pemanfaatan daur ulang sampah.
Yang perlu disadari dasar pemikiran dan tujuan dari masing-masing regulasi pemerintah berbeda namun saling melengkapi. Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, diamanatkan di 12 daerah dengan filosofi mengatasi sampah existing yang tidak terkelola sekaligus mendapatkan energi terbarukan sebagai bonus. Sementara Perpres Nomor 97 Tahun 2017 tentang Jastranas secara jelas menyasar penurunan timbulan sampah sejak dari awal sebesar 30% dari angka timbulan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga di tahun 2025. Selain itu juga diupayakan adanya penanganan sebesar 70% dari angka timbulan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebelum adanya kebijakan. Dengan demikian semangat yang diusung oleh Jastranas ini adalah semangat daur ulang (3R) menuju terciptanya circular economy sebagaimana penjelasan di awal.
Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut sendiri dimunculkan dengan mempertimbangkan fakta telah ditemukannya kandungan plastik berukuran mikro dan nano pada biota dan sumber daya laut di perairan Indonesia. Dinyatakan juga bahwa sampah plastik merupakan komponen yang paling sulit diurai oleh proses alam sehingga berbahaya bagi ekosistem perairan dan kesehatan manusia. Sampah laut itu sendiri didefinisikan sebagai sampah yang berasal dari daratan, badan air dan pesisir yang mengalir ke laut atau sampah yang berasal dari kegiatan di laut.
Ketika pengelolaan sampah ini dapat diatasi, mekanisme circular economy tampaknya bukan hal yang sulit untuk dijalankan. Secara teori, circular economy ini sendiri merupakan respon atas besarnya tekanan produksi dan konsumsi sumber daya alam dan lingkungan. Di sisi lain circular economy ini sebetulnya dapat dimaknai lebih sederhana ketika dinyatakan bahwa semua sistem kehidupan berfungsi secara maksimal ketika komponen satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Produksi barang dilakukan dengan mendesain material agar dapat di daur ulang sehingga selalu ada nilai tambah dari setiap perubahan yang dilakukan dan menekan residu sampah hingga nol.
Dari sisi pendanaan, pemerintah terus memberikan dukungan nyata via APBN, APBD dan sumber-sumber lainnya yang sah sesuai regulasi. Yang dipentingkan adalah adanya perbaikan tata kelola dan proses manajemen pengelolaan sampah itu sendiri. Tanpa adanya reformasi tata kelola manajemen sampah, politik anggaran pemerintah jelas tidak akan optimal. Dalam hitungan internal penulis, kapasitas maksimal anggaran publik sekitar 20% dari total kebutuhan lainnya. Dengan demikian dibutuhkan 80% sisa pemenuhan pendanaan yang berasal dari non-pemerintah.
Dari sisi swasta, bentuk pemenuhan diperkuat dengan konsep EPR (Extended Producer Responsibility). EPR dimaknai sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem pengolahan produk ketimbang fasilitas produksi. Dengan demikian tanggung jawab untuk produk diperluas di luar emisi dan limbah yang dihasilkan oleh ekstraksi atau proses manufaktur untuk memasukkan manajemen produk terhadap produk setelah dibuang. Tujuan utama dari EPR adalah pembangunan berkelanjutan melalui pengembangan produk yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan pemulihan produk. Dengan membuat produsen membayar untuk melakukan proses remediasi limbah dan polusi yang mereka ciptakan, maka mereka akan memiliki insentif untuk menggabungkan berbagai pertimbangan lingkungan yang lebih luas ke dalam desain produk, kemasan dan pilihan bahan. Insentifnya adalah untuk mengurangi konsumsi sumber daya pada semua tahap siklus hidup produk sehingga limbah yang dihasilkan semakin berkurang selain penghematan sumber daya.
EPR di Indonesia sudah diinisiasi sejak awal meskipun saat ini masih bersifat sukarela bukan sebuah kebijakan. Regulasi yang diperlukan juga relatif memadai, terdapat mandat di Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang diperkuat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. EPR juga memaksa para produsen untuk mulai memperhatikan bagaimana cara mengelola produk mereka masing-masing demi mengurangi potensi limbah dan sampah yang sering muncul sehari hari.
Sebagai penutup, tantangan pengelolaan sampah memang makin berat ke depannya. Sampah sebagai sebuah akumulasi buangan dari aktivitas manusia tentu berkorelasi positif dengan peningkatan perekonomian. Ekonomi semakin berkembang, postensi sampah yang muncul juga semakin banyak. Karenanya komitmen nyata dari pemerintah ini seharusnya dapat dijadikan memomentum bersama seluruh pihak yang berkepentingan di dalam menyelamatkan Indonesia dari bahaya darurat sampah. Lebih fundamental, reformasi ini akan menciptakan bangsa Indonesia yang semakin sadar akan sampah.
*) Peneliti, BKF, Kemenkeu,
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja