Dampak perubahan iklim terlihat makin nyata akhir-kahir ini. Pergantian musim yang tak menentu, munculnya beberapa endemi penyakit baru serta laju kepunahan flora dan fauna yang semakin massif, hanya menjadi penegas hal tersebut. Meningkatnya intensitas bencana memberi makna lain bahwa ancaman perubahan iklim membutuhkan aksi kolektif bersama secara nyata. Koalisi pimpinan negara menjadi sangat diperlukan mengingat dampak yang ditimbulkan tidak dapat diukur berdasarkan batas-batas wilayah administrasi semata. Aksi yang parsial juga diyakini tidak akan memberikan manfaat yang signifikan karena memang sifatnya laten namun destruksinya terlihat jelas.
Tak salah jika kemudian banyak tokoh mulai menyadari pentingnya hal ini dan mengambil posisi terdepan. Dengan demikian gerakan mengatasi dampak perubahan iklim secara global akan semakin dipermudah. Sebagai informasi, beratnya penyadaran isu ini dapat dilihat dari rentang Konferensi Bumi di Brasil tahun 1992, penetapan Kyoto Protocol hingga Paris Agreement tahun 2015. Munculnya Helsinki Principles yang mendorong Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk menyatakan dukungannya, menjadi buah manis dari beratnya pertarungan yang dihadapi. Ketika beberapa kondisi dasar sudah dapat disinergikan, perubahan strategi menjadi kata kunci. Diskusi saat ini bukan lagi terkait dengan aspek pendanaan melainkan bagaimana tata kelola dan monitoring evaluasi dari setiap dana publik yang sudah dialokasikan. Menjadi bencana jika dana-dana tersebut justru tidak mampu memberikan manfaat sesuai yang diharapkan.
Aspek Perubahan Iklim
Dari aspek teknis, perubahan iklim selalu dimaknai dari dua pendekatan utama yaitu aksi mitigasi dan adaptasi. Secara nasional, pemerintah memiliki komitmen yang unggul ketika tahun 2009 menyatakan kesanggupan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional 26% dengan pendanaan sendiri dan 41% dengan bantuan internasional hingga tahun 2020. Target ini kemudian dinaikkan menjadi 29% dalam kerangkan Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2030.
Komitmen tahun 2009 tersebut, kemudian dilembagakan dalam kerangka Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011. Di dalam regulsi, secara tegas disebutkan sumber emiten terbesar dalam aksi mitigasi adalah sektor berbasis lahan (kehutanan, pertanian dan lahan gambut), energi, transportasi, industri dan pengolahan limbah. Sebagai salah satu negara dengan luasan hutan terbesar di dunia, peran sektor berbasis lahan dalam penurunan emisi GRK mencapai 80%. Namun demikian, sumbangan energi ke depannya tidak dapat diremehkan seiring dengan peningkatakan aktivitas ekonomi yang semakin kompleks.
Konteks energi itu sendiri juga relatif unik ketika pelepasan emisi ada dalam format input energi hingga dimanfaatkan untuk sektoral plus terbuang menjadi limbah. Terkait hal energi ini, pemerintah memiliki capaian positif ketika tahun 2015 mampu menghilangkan beban subsidi BBM yang senantiasa membelenggu APBN setiap tahunnya. Dampak pembebasan susbidi BBM kemudian dialihkan sebagai tambahan anggaran untuk belanja kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.
Di sektor transportasi sendiri, sumber emisi konvensional dapat muncul dari moda darat, laut dan udara. Banyak diskusi sudah membedah moda transportasi darat dan laut. Karenanya penulis tertarik untuk mengupas lebih detail moda transportasi udara khususnya dikaitkan dengan jejak emisi yang ditinggalkan. Sebagaimana diketahui, bahwa peran sektor penerbangan saat ini menjadi salah satu pionir utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Terlebih sebagai negara kepulauan, peran sektor penerbangan menjadi sangat signifikan khususnya dalam upaya membuka peradaban dan mempermudah arus distribusi barang di lokasi terpencil. Tak heran jika peran penerbangan perintis menjadi prioritas yang terus dikembangkang, disamping memajukan penerbangan komersial. Majunya sektor penerbangan komersial bahkan sudah bertransformasi menjadi salah satu indikator utama keberhasilan pertumbuhan ekonomi.
Urgensinya makin meningkat ketika pemerintah saat ini telah menyepakati pariwisata menjadi sektor prioritas baru pasca melemahnya peran sumber daya alam (SDA) yang hanya menimbulkan dampak kerusakan. Sebagai sektor prioritas, pariwisata diharapkan mampu memberikan daya ungkit yang luar biasa bagi pengembangan sektor-sektor terkait lainnya. Dalam proses eskalasi kebijakan, pemerintah kemudian menciptakan program pengembangan 10 destinasi baru pariwisata selain Bali, yang tersebar dari Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo dan Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi hingga Morotai.
Meningkatnya aktivitas pariwisata di 10 destiansi baru ini, tentu akan mendorong laju penerbangan baik domestik maupun internasional. Seperti yang diharapkan, masuknya arus devisa menjadi indikator keberhasilan disamping meningkatnya ekonomi masyarakat lokal serta terciptanya jenis-jenis pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar. Yang sering dilupakan, laju peningkatan ini juga memberikan dampak pelepasan jejak karbon yang semakin besar. Ini yang harus disadari oleh semua pihak terlebih ketika tren wisatawan saat ini juga sudah mulai melek isu karbon.
Dari hasil penelitian, kadar emisi penerbangan tak kalah merusaknya dibandingkan moda transportasi darat dan laut. Terlebih untuk jarak jarak-jarak pendek yang kandungan emisinya lebih tinggi dibandingkan penerbangan jarak jauh, karena frekuensi take off dan landing lebih sering. Di beberapa negara Eropa, sudah meningkatkan level kewaspadaan terkait polusi di sektor penerbangan. Negara-negara tersebut kemudian menerapkan pungutan atas emisi yang dihasilkan dalam bentuk pengenaan Aviation Tax (AT). Norwegia tercatat sebagai salah satu negara yang sudah mengimpementasikan, sementara Belanda menyatakan siap di tahun 2021.
Secara teori, dasar pengenaan AT dapat diarahkan melalui tiket penumpang atau pungutan terhadap bahan bakar yang digunakan. Kedua opsi item ini tentu memberikan dampak dan mekanisme pungutan yang berbeda. Namun demikian, menjadi sangat menarik jika hal ini juga mulai dipikirkan oleh pemerintah khususnya dalam menghadapi era penerbangan bebas ke depannya. Diskusi mengenai potensi pungutan atas emisi penerbangan ini memang relatif sensitif karena memberikan dampak kenaikan biaya penerbangan.
Kenaikan biaya penerbangan domestik dianggap memperlemah daya saing. Di sisi lain status penerbangan negara tetangga masih jauh lebih murah sehingga dikhawatirkan sektor penerbangan domestik dan sektoral lainnya akan terpukul. Dengan demikian dipastikan bahwa kebijakan ini memang butuh kesepakatan antar kawasan. Tidak dapat dijalankan secara sepihak tanpa menciptakan koalisi bersama untuk menerapkan bisnis proses yang seragam.
Namun demikian, penulis merasa bahwa hal ini hanya menjadi persoalan waktu saja bagi industri penerbangan untuk mulai menyikapi. Terlebih ketika nantinya beberapa kawasan lainnya justru sudah mulai menerapkan, sementara pemerintah belum memikirkan, yang terjadi pesawat domestik wajib membayar ketika menerbangi langit internasional, sementara pesawat internasional bebas menerbangi langit Indonesia. Karenanya mari kita rumuskan bersama secara menyeluruh dan komprehensif dengan mengedepankan aspek tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja