VII. URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 1. Kebijakan nasional bidang kesehatan dalam menghadapi Perubahan Iklim
a. Kebijakan nasional perubahan iklim
Pertemuan antar bangsa-bangsa tentang perubahan iklim, melalui Organisasi Meteorologi Dunia/ World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environmental Programme (UNEP) menyebutkan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh berbagai hal yang satu dan lainnya saling terkait. Perubahan iklim adalah sebuah fakta yang harus dihadapi oleh masyarakat di bumi. Dunia internasional telah menerbitkan beberapa kebijakan terutama terkait perubahan iklim. Pada agenda internasional yang tertuang pada Sustainable Development Goals (SDGs) pada nomor ke 13 secara jelas menyebutkan aksi iklim (Climate Action) sebagai bagian dalam upaya menghadapi perubahan iklim. SDGs memiliki 5 pondasi yaitu manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian, dan kemitraan yang ingin mencapai tiga tujuan mulia di tahun 2030 berupa mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan dan mengatasi perubahan iklim. Untuk mencapai tiga tujuan mulia tersebut, disusunlah 17 Tujuan Global SDGs. Kebijakan ini diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara termasuk Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional terkait perubahan iklim. Seperti respon Pemerintah Indonesia soal kebijakan Sendai Framework yang merupakan program internasional dan sesuai dengan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sendai Framework sendiri merupakan program internasional yang termasuk kedalam program penilaian indikator untuk mengukur pencapaian target program terkait perubahan iklim. Terdapat 7 target dalam Sendai Framework. Target-target program dapat tercapai jika memaksimalkan anjuran UU No. 24 tahun 2007 tersebut. Pada pasal 58, Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik. Poin-poin tersebut mengacu pada target 3 dan 4 Deklarasi Sendai. Peraturan pemerintah No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional Dan Lembaga Asing Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana juga memperkuat target keenam Deklarasi Sendai.
Bukan hanya itu, Indonesia dan sebanyak 195 negara anggota UNFCCC juga telah menyepakati Paris Agreement sebagai protokol baru yang akan menggantikan Protokol Kyoto sebagai kesepakatan bersama untuk menangani perubahan iklim dengan berbagai aspeknya dan berkomitmen untuk melakukan pembangunan yang rendah emisi. Sebagai bukti komitmen Indonesia pada kebijakan ini, Pemerintah saat ini telahmeratifikasi menetapkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim). Selain itu, komitmen Indonesia juga tertuang pada Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Program tersebut menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. NDC tersebut menggambarkan peningkatan aksi dan kondisi yang mendukung selama periode 2015-2019 yang akan menjadi landasan untuk menentukan tujuan lebih ambisius setelah tahun 2020, yang akan berkontribusi dalam upaya untuk mencegah kenaikan termperatur global sebesar 20C dan mengejar upaya membatasi kenaikan temperature global sebesar 1.50C dibandingkan masa pra-industri.
Lebih jauh lagi, ketentuan-ketentuan tentang perubahan iklim tersebar di dalam beberapa bagian dan pasal dari Undang-Undang No. 32 tahun 2009. Pada bagian pertimbangannya, Undang-Undang ini menyatakan bahwa “pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”. Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009, yang menyatakan bahwa “Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan air laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati”.
b. RAN API
Sebagai wilayah yang berada diantara benua Asia dan Australia serta lautan Hindia dan Pasific, Indonesia mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim telah meningkatkan suhu udara dan merubah pola curah hujan diberbagai wilayah di Indonesia meskipun sebaran dampaknya berbeda-beda secara temporal dan spasial. Berbagai sektor pembangunan yang terdampak diantaranya ketahanan pangan, kesehatan, infrastruktur dan pemukiman, energi, ekosistem, kehutanan, perkotaan, dan pesisir.
Disitir dari dokumen RAN API (2014), faktor masyarakat di Indonesia yang belum melakukan dan menerapkan budaya hidup sehat dan bersih, berpotensi menjadi penyebab Indonesia rentan dari sisi kesehatan akibat perubahan iklim. Selain itu, faktor keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala kewilayahan, belum memadainya sarana dan prasarana kesehatan khususnya di tingkat lokal serta terbatasnya informasi dan data terkait risiko di sektor kesehatan akibat perubahan iklim juga menjadi menjadi penyebab Indonesia rentan dari sisi kesehatan akibat perubahan iklim. Pendekatan penyusunan program aksi RAN-API Sub Bidang Kesehatan dikaitkan dan diintegrasikan terhadap program dan kegiatan yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014. Di samping itu, Kementrian Kesehatan juga telah menyusun strategi adaptasi sektor kesehatan terhadap perubahan iklim, pedoman faktor risiko perubahan iklim dan modul perubahan iklim.
Strategi utama pencapai sasaran (goal) RAN-API (2014) Bidang Kesehatan adalah:
1. Penguatan dan pemutakhiran informasi kerentanan dan risiko kesehatan terhadap perubahan iklim,
2. Pengembangan kebijakan, perencanaaan, jejaring, dan kerja sama antar lembaga di tingkat lokal, regional dan nasional terkait risiko kesehatan terhadap perubahan iklim,
3. Penguatan kapasitas dan kewaspadaan dini terkait ancaman perubahan iklim terhadap kesehatan di tingkat masyarakat dan pemerintah.
Strategi-strategi tersebut diwujudkan dalam 4 Program Utama (Klaster):
1. Klaster Identifikasi dan Pengendalian Faktor-Faktor Kerentanan dan Risiko pada Kesehatan Masyarakat yang dapat Ditimbulkan oleh Perubahan Iklim. Rencana aksi pada klaster ini diarahkan pada pemuktahiran kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim bidang kesehatan pada tingkat kabupaten/kota, pengamatan dan pengendalian terhadap agen penyakit, perantara penyakit, kualitas lingkungan dan infeksi pada manusia, khususnya pada kelompok rentan: wanita, anak, lanjut usia dan masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Klaster Penguatan Sistem Kewaspadaan dan Pemanfaatan Sistem Peringatan Dini Terhadap Mewabahnya Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular yang Diakibatkan Perubahan Iklim. Rencana aksi pada klaster ini diarahkan pada peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan melalui pemantauan dan pengumpulan data secara kontinu, koordinasi dan pelaksanaan tindakan, rencana tanggap darurat bencana untuk penanganan kesehatan dan informasi kepada masyarakat tentang wabah penyakit menular dan penyakit tidak menular yang disebabkan perubahan iklim.
3. Klaster Penguatan Regulasi, Peraturan Perundangan, dan Kapasitas Kelembagaan di Tingkat Pusat dan Daerah Terhadap Risiko pada Kesehatan Masyarakat yang dapat Ditimbulkan oleh Perubahan Iklim. Rencana aksi pada klaster ini diarahkan pada penguatan regulasi dan peraturan perundangan dan penguatan kapasitas kelembagaan melalui penyusunan rencana aksi dan road map, koordinasi pelaksanaan tugas, kapasitas lembaga, kemitraan dan jejaring.
4. Klaster Peningkatan Ilmu Pengetahuan, Inovasi Teknologi, dan Partisipasi Masyarakat Terkait Adaptasi Kesehatan terhadap Perubahan Iklim. Rencana aksi pada klaster ini diarahkan pada penelitian, pendidikan dan pengembangan teknologi terkait perubahan iklim dan adaptasi terkait kesehatan, pengembangan sumberdaya manusia bidang kesehatan dan partisipasi masyarakat terkait adaptasi kesehatan terhadap perubahan iklim.
c. Kebijakan nasional adaptasi perubahan iklim bidang kesehatan
Merespon dampak perubahan iklim yang secara nyata telah di rasakan, maka diperlukan langkah-langkah aksi adaptasi perubahan iklim khususnya bidang kesehatan. Pemerintah Indonesia telah menghasilkan berbagai peraturan dan kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim antara lain :
• Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
• Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).
• Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
• Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014Tentang Kesehatan Lingkungan
• Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
• Permenhut No. P.68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
• Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD)
• Permenhut No P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
• Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+
• Permen LHK No. 33 Tahun 2016 tentang Penyusunan Aksi Adaptasi
• Permenkes 35 Tahun 2012 tentang Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim
• Permenkes 1018 Tahun 2011 Tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim
Kajian risiko dan dampak perubahan iklim semakin dibutuhkan untuk perencanaan pembangunan nasional. Kajian ini juga sekaligus mengakomodasi perintah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait Permen KLHK 33 Tahun 2016 tentang Penyusunan aksi adaptasi. Dalam Permen disebutkan bahwa setiap wilayah (Kabupaten/Kota) diwajibkan untuk melakukan aksi adaptasi. Selain itu, pada level internasional juga sudah disebutkan mengenai aksi adaptasi tersebut yang sinergi dengan agenda internasional seperti SDGs, Paris Agreement dan Senday Framework. Dalam PERMEN KLHK No. 33 dijelaskan bahwa tahapan penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi target cakupan wilayah dan/atau sektor spesifik dan masalah dampak perubahan iklim;
2. Penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim;
3. Penyusunan pilihan aksi adaptasi perubahan iklim;
4. Penetapan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim; dan
5. Pengintegrasian aksi adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan.
Merujuk pada poin diatas, maka untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan serta tahan terhadap perubahan iklim, diperlukan kajian kerentanan dan risiko iklim. Hal tersebut penting, karena perubahan iklm merupakan salah satu hal yang dianggap berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko Lingkungan Hidup sehingga kebijakan, rencana dan/atau program yang dihasilkan perlu memperhatikan perubahan iklim.
Pokok Bahasan 2. Strategi nasional bidang kesehatan dalam menghadapi Perubahan Iklim
a. Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim
Kementerian Kesehatan dalam UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, mencantumkan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Oleh karena itu, upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Untuk melaksanakan amanah UU No.36 Tahun 2009, maka pada PP No.66 Tahun 2014 pasal 4 tentang Kesehatan Lingkungan, mencantumkan bahwa dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan pemerintah berwenang, menetapkan kebijakan nasional mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terkait kesehatan, serta melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terkait kesehatan di lintas provinsi dan lintas batas negara. Sedangkan untuk pelaksanaan yang lebih operasional, maka disusun Permenkes 1018 Tahun 2009 Tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim.
Strategi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim bertujuan untuk menanggulangi dampak buruk terhadap kesehatan akibat perubahan iklim. Adapun strategi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim yaitu :
1. Sosialisasi dan advokasi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim.
2. Pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim.
3. Peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan.
4. Peraturan perundang–undangan
5. Peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan, khususnya daerah rentan perubahan iklim
6. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang kesehatan
7. Peningkatan pengendalian dan pencegahan penyakit akibat dampak perubahan iklim
8. Peningkatan kemitraan
9. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim sesuai kondisi setempat
10. Peningkatan surveilans dan sistem informasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2012 tentang Modul Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim menyebutkan bahwa perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, sosial, dan sistem kesehatan.
Faktor risiko perubahan iklim yang mempengaruhi kesehatan, antara lain distibusi suhu udara yang ideal bagi vektor, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, kenaikan frekuensi serta intensitas iklim ekstrim, dan faktor risiko kesehatan lainnya yang diakibatkan perubahan iklim. Faktor risiko kesehatan terhadap dampak perubahan iklim terdiri atas:
a. Faktor Risiko Penyakit Tular Vektor (Vectorborne Disease) Akibat Perubahan Iklim
b. Faktor Risiko Penyakit Tular Air (Waterborne Disease) Akibat Perubahan Iklim
c. Faktor Risiko Penyakit Tular Makanan dan Gizi (Foodborne Disease and Nutrition) Akibat Perubahan Iklim
d. Faktor Risiko Penyakit Tular Udara (Air Borne Disease) Akibat Perubahan Iklim
e. Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Akibat Perubahan Iklim
f. Faktor Risiko Perubahan Iklim terhadap Kejadian Bencana
g. Faktor Risiko Perubahan Iklim terhadap Gangguan Kesehatan Jiwa
b. Peran Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dan Puskesmas
Peran petugas kesehatan dalam adaptasi perubahan iklim antara lain:
a) Sebagai pengelola program
Menetapkan tujuan, menyusun Modul, perencanaan, melaksanakan kegiatan, memantau dan mengevaluasi, melakukan perbaikan , dan pengembangan
b) Sebagai pelaksana sosialisasi & advokasi
Melakukan sosialisasi dan advokasi perubahan iklim pengarus utamaan perubahan iklim dalam pembangunan
c) Sebagai fasilitator/pemberdayaan masyarakat
Melakukan adaptasi perubahan perilaku masyarakat agar masyarakat tahu, mampu dan mau melakukan adaptasi perubahan iklim di bidang kesehatan. (Enabling / memfasilitasi timbulnya potensi masyarakat, Empowering/ memperkuat potensi dan daya masyarakat)
c. Jejaring Lintas Program, Lintas Sektor dan Mitra
Kerja sama lintas program merupakan kerja sama yang dilakukan antara beberapa program dalam bidang yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Kerja sama lintas program yang diterapkan di puskesmas berarti melibatkan beberapa program terkait yangada di puskesmas. Tujuan khusus kerja sama lintas program adalah untuk menggalangkerja sama dalam tim dan selanjutnya menggalang kerja sama lintas sektoral.
Kerja sama lintas sektor melibatkan dinas dan orang- orang di luar sektor kesehatan yang merupakan usaha bersama mempengaruhi faktor yang secara langsungatau tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Kerja sama tidak hanya dalam proposal pengesahan, tetapi juga ikkut serta mendefinisikan masalah, prioritas kebutuhan, pengumpulan, dan interpretasi informasi serta mengevaluasi. Lintas sektor kesehatanmerupakan hubungan yang dikenali antara bagian atau bagian-bagian dari sektor yang berbeda, dibentuk utnuk mengambil tindakan pada suatu masalah agar hasil yang tercapaidengan cara yang lebih efektif, berkelanjutan atau efisien disbanding sektor kesehatan bertindak sendiri (WHO 2000). Prinsip kerja sama lintas sektor melalui pertalian dengan program di dalam dan di luar sektor kesehatan untuk mencapai kesadaran yang lebih besar terhadap konsekuensi kesehatan dari keputusan kebijakan dan praktek organisasisektor-sektor yang berbeda.
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kerjsasama lintas sektor penganggulangan yang meliputi anggaran, peraturan, komunikasi, komitmen, peran, dantanggung jawab. Masalah anggaran sering membuat beberapa institusi membentu kerjasama. Pengendalian melalui manajemen lingkungan memerlukan kejelasan yang efektif antara sektor klinis, kesehatan lingkungan, perencanaan pemukiman, institusi akademis,dan masyarakat setempat.
Komitmen memerlukan pembagian visi dan tujian seta penetapan kepercayaanyang lebih tinggi dan tanggung jawab timbale balik untuk tujuan bersama. Peran dantanggung jawab menunjuk masalah siapa yang akan melakukan keseluruhan kerjasa.Semua kerja sama memerlukan struktur dan proses untuk memperjelas tanggung jawabdan bagaimana tanggung jawab tersebut dikerjakan.
Kemitraan pada esensinya adalah dikenal dengan istilah gotong royong ataukerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2003), kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu,kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuantertentu. Ada berbagai pengertian kemitraan secara umum (Promkes Depkes RI) meliputi:
a. Kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi minimal antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak merupakan ”mitra” atau ”partner”.
b. Kemitraan adalah proses pencarian/perwujudan bentuk-bentuk kebersamaan yangsaling menguntungkan dan saling mendidik secara sukarela untuk mencapaikepentingan bersama.
c. Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah atau non-pemerintah untuk bekerja sama mencapaitujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing.
Kemitraan adalah suatu kesepakatan dimana seseorang, kelompok atau organisasiuntuk bekerjasama mencapai tujuan, mengambil dan melaksanakan serta membagi tugas,menanggung bersama baik yang berupa resiko maupun keuntungan, meninjau ulang hubungan masing-masing secara teratur dan memperbaiki kembali kesepakatan biladiperlukan.(Ditjen P2L & PM, 2004).
Secara umum, model kemitraan dalam sektor kesehatan dikelompokkan menjadi dua (Notoadmodjo, 2003) yaitu:
a. Model I
Model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk jaring kerja (networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk jaringan kerja saja. Masing-masing mitra memiliki program tersendiri mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan tersebut terbentuk karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik lainnya.
b. Model II
Kemitraan model II ini lebih baik dan solid dibandingkan model I. Hal ini karena setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap program bersama. Visi, misi, dan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan kemitraan direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama
Bentuk-bentuk/tipe kemitraan menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI yaitu terdiri dari aliansi, koalisi, jejaring, konsorsium, kooperasi dan sponsorship. Bentuk-bentuk kemitraan tersebut dapat tertuang dalam:
a. SK bersama
b. MOU (Memorantum of understanding)
c. Pokja
d. Forum Komunikasi
e. Kontrak Kerja/perjanjian kerja